Intimidasi, Musuh Besar Demokrasi di Negara Hukum

Di Posting : 22 November 2019
Penulis : Kontributor
Kategori :
Bagikan :

Foto : Prokota.com

Intimidasi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang lain atau pihak lain melakukan sesuatu)”. Kata lain dari intimidasi adalah ancaman, gertakan.

Tindakan intimidasi jelas merupakan perbuatan melawan hukum ( onrecht matig daad). Masuk ranah hukum publik (hukum pidana). Sebagai perbuatan melawan hukum di ranah hukum publik, tentu ada sanksi pidananya. Dari aspek delik (tindak pidana), intimidasi masuk kategori delik umum (pidana umum/pidum).

Pihak penegak hukum baru bertindak memproses bila ada pengaduan (laporan). Jadi, intimidasi adalah delik aduan.

Wujud konkret dari modus operandi (cara melakukan tindak pidana) dari orang/pihak pelaku intimidasi, tentu sangat beragam. Wujud konkret yang kasat mata dari sebuah tindak pidana lazim disebut actusreus auto delictum. Setiap perbuatan pidana, pasti ada motif yg membalut niat untuk melakukan tindak pidana dimaksud. Lazim disebut mensrea auto delictum.

“Barang siapa mendalilkan, ia wajib membuktikan”. Begitu aksioma hukum. Bila korban intimidasi mendalilkan (melapor kepada pihak berwajib c/q penegak hukum), maka korban sebagai pelapor wajib membuktikan adanya tindak pidana intimidasi terhadap dirinya.

Dalam kontek tersebut pelapor harus mengindahkan (memiliki) alat-alat bukti yg mendukung dalilnya (laporan pidananya). Jenis alat bukti dimaksud seperti diatur dalam Pasal 184, ayat (1), UU RI No. 8/ Tahun 1981 ttg KUHAP atau Hukum Acara Pidana. Pihak penerima laporan (polisi) berkewajiban menangani laporan (aduan) dalam kapasitas (legal standing) sebagai penegak hukum. Hal ini diamanatkan dalam Pasal 13, ayat (2), UU RI No. 2/ Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kadang kala terjadi, intimidasi terhadap seseorang (korban) tidak diterima langsung dari pihak pelaku intimidasi. Konkretnya, ada “mediator” yang menyampaikan intimidasi dari pelaku kepada orang/pihak yang diintimidasi (korban).

Dalam hal yang demikian, korban intimidasi perlu cermat.

Pasalnya, pernyataan intimidasi lewat “mediator”, bila masuk ranah penyidikan maka kesaksian korban bisa dikategorikan testimonium de auditu. Artinya, saksi yang mengutip kata-kata ancaman dari “mediator” pelaku intimidasi. Pendek kata, saksi de auditu bisa disebut “saksi katanya-katanya”.

Ini berpotensi melemahkan (tidak mendukung) dalil-dalil laporan korban sebagai pelapor dalam delik aduan tersebut.

Hal lain yang juga perlu dicermati, masih terkait dengan saksi adalah “jumlah” saksi. Ini “vital” karena keterangan saksi merupakan alat bukti kesatu dalam Pasal 184, ayat (1), UU RI No. 8/ Tahun 1981 tentang KUHAP/Hukum Acara Pidana. Hal yang harus dicermati, “satu saksi bukan saksi” (unus testis nullus testis). Galibnya, pelapor (korban intimidasi) harus mampu menghadirkan lebih dari satu saksi.

Pasal apa saja dalam KUHPidana yg mungkin akan dijeratkan oleh penegak hukum kepada terlapor setelah “naik status” menjadi tersangka, terpulang kepada dua “elemen” tindakan melawan hukum yang didukung alat-alat bukti (selain juga barang bukti).

Dua “elemen” dimaksud, (1) actusreus auto deluctum yang dapat dibuktikan, dan (2) mensrea auto delictum yang dapat dibuktikan.

Kesimpulan saya,

Pertama, jurnalis sebagai pekerja intelektual, wajib “melek hukum” guna memagari diri dari segala kemungkinan negatif (kemungkinan buruk) yang mungkin muncul pada saat atau setelah melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Kedua, jurnalis sebagai penjaga gawang aspirasi publik, idealnya tidak gentar dan tidak surut langkah “hanya” karena adanya intimidasi. Tentu, sepanjang jurnalis yang bersangkutan yakin kerja jurnalistiknya melaju di atas rel hukum positif (UU Pers dan UU lain yg tetkait dng fungsi kontrol sosial pers), serta melaju di atas rel etika (Kode Etik Jurnalistik).

Ketiga, jurnalis dari berbagai media massa dan berbagai organisasi insan pers (PWI, AJI, IWO, dan lainnya) idealnya kompak dalam satu irama gerak bela diri, manakala ada tindakan/aksi intimidatif terhadap insan pers. Tindakan “kontra-aksi” terhadap intimidasi tersebut tetap harus dilakukan dalam koridor hukum.

Keempat, jurnalis harus kompak (bersama-sama) membangun opini publik lewat media massa masing-masing. Intinya, bahwa aksi premanisme berwujud intimidasi terhadap insan pers yang menjalankan tupoksi kontrol sosial secara konstruktif, adalah musuh besar demokrasi di negara hukum. Wajib dilawan secara bersama-sama!

Demikian opini saya setelah membaca berita tentang intimidasi terhadap jurnalis di Kabupaten Malang, tersebut di atas.

YUNANTO
(Mantan Wartawan Senior Harian Sore Surabaya Post Tahun 1982-2002)

Di Posting : 22 November 2019

Berita Serupa

Politik
Bisnis
Olah Raga